
Medha.id. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan sedang menjadi sorotan baik di dalam maupun luar negeri. Terutama mengenai dampak dari asap yang ditimbulkan akibat kebakaran yang sangat menjadi perhatian sebab dapat menimbulkan banyak penyakit serius pada pernapasan yang berujung kematian.
Berangkat dari hal tersebut, tim Mulai Dari Kita tergerak untuk melakukan aksi penggalangan donasi guna memberikan bantuan yang dibutuhkan sejak tanggal 22 September 2019 – 24 September 2019. Bukan hanya menggalang donasi, tim Mulai Dari Kita juga berangkat langsung ke Kalimantan Tengah—yang diketahui memiliki kondisi yang cukup parah dan kurang mendapatkan bantuan untuk memberikan donasi pada Kamis, 26 September 2019. Mendarat dengan selamat pada pukul 20.15 di Bandara Tjilik Riwut Kalteng, tim disambut oleh beberapa anak muda yang tergabung dalam organisasi Betang Muda Peduli yang akan membantu penyaluran donasi kepada masyarakat setempat.
Benar saja, meskipun Kami sudah menggunakan masker khusus namun bau asap tetap terasa begitu menyengat dan membuat tidak nyaman ketika bernafas. Tim pun dikejutkan mendengar cerita dari salah satu anggota Betang Muda Peduli dan mendapatkan informasi bahwa Kami (tim Mulai Dari Kita) merupakan tim yang pertama kali datang untuk menyalurkan bantuan secara langsung. Sebab bahkan bantuan dari pemerintah pun masih sangat alakadarnya dan terasatidak maksimal sama sekali.
Baca juga: Sriwijaya Air Benahi Kinerja Guna Keberlangsungan Kerjasama Management
Melanjutkan perbincangan dengan teman-teman dari Betang Muda Peduli selama perjalanan, sangat disayangkan karena ternyata masih kurang sekali kesadaran dari Masyarakat setempat yang menganggap kepulan asap merupakan hal biasa, karena kurangnya penyuluhan mengenai bahaya asap yang ditimbulkan darikebakaran. Kami pun menyaksikan langsung bahwa masih banyak sekali orang-orang dari dewasa hingga anak-anak yang tetap beraktifitas seperti biasa tanpa menggunakan masker.
Ada rasa trauma yang disampaikan oleh beberapa anggota Betang Muda Peduli dengan bencana Karhutla yang sedang terjadi. Sebab pada tahun 2015, mereka pernah mengalami langit menguning sejak pagi hingga malam seperti yang terjadi di Jambi.
Pada Jumat, 27 September 2019, pukul 08:00 pagi tim Mulai Dari Kita kembali berkumpul dan bersiap untuk menyalurkan donasi secara langsung kepada masyarakat dan para pemadam kebakaran. Udara terasa jauh lebih buruk dibandingkan pada saat kami datang semalam. Lokasi pertama yang kami tuju adalah Kantor Taman Nasional Sebangau untuk memberikan donasi berupa masker pemadam, sarung tangan, vitamin, air mineral dan kebutuhan lainnya. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari salah satu sumber yang bekerja langsung di kantor Taman Nasional Sebangau, banyak sekali para pemadam kebakaran dan sukarelawan yang ikut memadamkan api tanpa menggunakan masker khusus pemadam yang tentu saja berbahaya bagi kesehatan mereka.
Selesai memberikan donasi di Kantor Taman Nasional Sebangau, kami melanjutkan perjalanan menuju desa Kalampangan untuk memberikan donasi secara langsung sekaligus melakukan penyuluhan mengenai bahaya asap. Kedatangan kami disambut hangat dan haru oleh warga. Sebab ternyata masker merupakan barang langka yang sulit didapatkan dan mahal bagi mereka. Tidak hanya masker, kami juga memberikan bantuan seperti susu untuk anak, vitamin untuk dewasa dan anak berharap kesehatan mereka tetap terjaga dengan kondisi udara yang sangat buruk.
Menjelang sore, kami berencana pergi ke KM 23 Taman Nasional Sebangau untuk memberikan bantuan secara langsung kepada pemadam kebakaran yang masih berusaha memadamkan api di dalam hutan. Di sana kami mendengar salah satu cerita pemadam, mereka sangat kecewa dengan apa yang terjadi. Mereka merasa tidak diperhatikan dengan baik, sebab bahkan mereka tidak diberikan perlengkapan yang layak seperti halnya masker khusus untuk pemadam dan sarung tangan. Mereka pun hanya mendapatkan 1 x makan sehari sedangkan mereka hampir 24 jam berupaya memadamkan api. Bahkan banyak warga sekitar lokasi kebakaran yang enggan mengungsi ke tempat yang lebih aman, karena merasa iba kepada para pemadam sehingga mereka memilih tinggal agar dapat menyiapkan masakan sendiri untuk dikonsumsi oleh pemadam.
Pukul 16:00, kami Tiba di KM 23 Taman Nasional Sebangau, Kalteng. Kami dikejutkan dengan penampaka nhutan yang rusak akibat terbakar. Pohon-pohon tumbang terlihat gosong lengkap dengan gelap asap yang menyelimuti. Bahkan dari luar pun masih terlihat beberapa titik api yang menyala. Penuh hati-hati, kami melangkahkan kaki masuk ke dalam hutan karena tidak adanya akses untuk kendaraan. Sejauh 2 km melangkah, kami akhirnya menemukan posko para pemadam di dalam hutan yang sangat seadanya, hanya beralaskan tikar dan beratapkan terpal berwarna biru. Yang kami dengar, bahkan mereka sudah berada di posko dan tidak pulang selama hampir 2 bulan untuk memadamkan api.
Di sana kami berkenalan dengan Bapak Yunus—salah seorang pemimpin pemadam. Beliau sangat kecewa mendengar beberapa pemberitaan di luar yang menyalahkan masyarakat setempat dengan adat istiadat membakar hutan untuk membuka lahan. Benar, adat istiadat yang diturunkan dari nenek moyang mereka adalah membakar hutan untuk membuka lahan pertanian. Hanya saja, nenek moyang mereka mengajarkan untuk menjaga titik api agar tidak merembet luas sehingga hanya lahan pertanian yang mereka butuhkan saja yang terbakar. Namun kenyataannya sekarang adalah kebakaran hutan disebabkan ulah dari pihak luar dan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang membakar hutan untuk kepentingan bisnis pribadi. Di mana mereka hanya membakar hutan secara asal dan tidak menjaga penyebaran api sehingga terjadilah Karhutla.
“Setiap habis terbakar, selalu timbul bangunan baru seperti perumahan dan gedung,” ucap bapak Yunus kesal.
Sungguh kami sangat prihatin melihat kondisi kepulauan Kalimantan saat ini. Terlebih terhadap kesehatan seluruh masyarakat yang justru dapat memburuk pasca bencana asap. Untuk itu, Mulai Dari Kita menjaga dan mencintai lingkungan serta peduli terhadap sesama. Sebab bencana asap adalah tanggungjawab Kita—satu Indonesia.