Dok. Agus Siswanto
Medha.id. Para pecinta misteri alam barangkali akan takjub sebelum akhirnya jatuh hati pada sebuah fenomena langka yang terjadi di Gua Batu Cermin di Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tak ubahnya kejadian dalam sebuah fiksi ilmiah Gua Batu Cermin yang oleh warga sekitar disebut-sebut sebagai Watu Sermeng itu mampu memantulkan cahayanya di dinding batu sehingga merefleksikan cahaya kecil ke areal lain dalam gua sehingga terlihat seperti cermin.
Gua itu tak seperti gua-gua lainnya, ia mampu meredam bunyi sehingga kedap suara sehingga tak ada gema dan gaung dari bunyi apapun yang ditimbulkan di dalamnya.
Bagi mereka yang penasaran, gua itu bisa ditempuh dari pusat kota Labuan Bajo hanya sekitar lima belas menit. Pengunjung dapat menyambangi gua itu dengan kendaraan bermotor. Aksesnya juga relatif mulus. Jalanan beraspal, dan deretan bukit hijau serta pepohonan berada di sepanjang jalan.
Setibanya di pintu masuk kawasan wisata Gua Batu Cermin, pengunjung akan menemukan sebuah warung makan dan area parkir yang cukup luas.
Udara terik ternyata menjadi sebuah berkah, karena kondisi yang paling tepat untuk mengunjungi gua adalah ketika cuaca cerah. “Kalau hujan, gua jadi terlalu lembab dan licin. Untung hari ini cerah,” kata Mario, pemandu wisata yang gemar melemparkan guyonan kepada para wisatawan.
Setelah membeli tiket, para pengunjung harus berjalan sekitar 300 meter untuk mencapai gua. Jangan khawatir kebosanan, karena terdapat deretan pohon bambu yang rimbun dan memanjakan mata. Sesekali pengunjung juga bisa melihat beberapa monyet bergelantungan atau sekadar duduk-duduk di kanan-kiri.
Tak lama kemudian, terlihat pagar berwarna hijau sekaligus bongkahan batu-batu besar. Mario berhenti sejenak, ia menceritakan sejarah penemuan gua ini yang pertama kali mendapat perhatian dunia pada 1951 berkat penelitian arkeolog sekaligus misionaris asal Belanda, Theodore Verhoven.
“Jutaan tahun lalu, posisi gua ini ada di bawah laut. Dulu, sempat ada pergeseran atau patahan lempeng bumi, lalu terjadi gempa, sehingga ada beberapa wilayah di Pulau Flores yang tenggelam. Ada beberapa juga yang bahkan naik ke permukaan, salah satunya adalah gua ini,” jelas Mario.
Untuk memasuki gua utama, pengunjung harus menaiki tangga yang sudah disemen. Terdapat gua pembuka dengan jalur yang relatif luas dan mudah untuk dilalui. Beberapa pohon terlihat merambat dengan akar yang cukup besar menempel di dinding gua pembuka.
Tepat di bibir masuk gua utama, para pengunjung diminta untuk memakai helm dan menyalakan penerangan di seluler masing-masing. Dari sepuluh pengunjung, hanya dua yang diberikan senter oleh Mario. “Tidak boleh terlalu banyak penerangan di dalam gua, karena bisa mengubah temperatur udara,” katanya. Mario juga menerangkan kondisi di dalam gua dan mengimbau para pengunjung untuk berhati-hati ketika berjalan, karena di beberapa titik terdapat lorong yang hanya bisa dilalui oleh satu orang saja.
“Panjang gua kurang lebih 15-20 meter, tapi ada beberapa titik di mana kita harus berjalan merunduk karena posisi stalaktit dan stalagmit cukup rendah. Nanti di dalam ada ruangan besar yang tidak ada cahaya, tapi di bagian yang disebut ‘cermin’ ada cahaya,” terang Mario.
Dan benar saja, begitu masuk pengunjung harus berjalan perlahan dan merunduk. “Untung pakai helm. Kalau enggak, lumayan juga kena batu-batunya,” komentar salah satu pengunjung.
Udara dalam gua cukup lembap meski cuaca cerah karena masih ada beberapa genangan air.
Tak lama kemudian, para pengunjung tiba di ruang tengah yang bisa dipenuhi oleh sekitar 15 orang. Mario mengarahkan cahaya senter ke langit gua, ia menyoroti fosil penyu dengan posisi terbalik. Ada segenggam bongkahan yang hilang pada tempurung fosil, yang ternyata sengaja diambil oleh Verhoven untuk diteliti. Ia kemudian menyimpulkan bahwa “batuan” tersebut memang fosil penyu yang sudah tercampur dengan berbagai jenis mineral lainnya.
Mario bertanya apakah ada di antara pengunjung yang mendengar suara gema yang biasanya muncul di dalam gua. “Oh iya, kok enggak ada suara gema ya?” spontan salah satu pengunjung bertanya balik.
Mario lalu menyoroti sederet bongkahan batu berkilauan yang memiliki “pori-pori”. Menurut Verhoven, suara di gua ini tidak bergema lantaran bentuk batu yang berpori-pori dapat meredam suara. “Gua ini tidak bagus untuk memantulkan suara, tapi bagus untuk memantulkan cahaya,” jawab Mario.
Ia selalu menunda-nunda menjelaskan tentang mengapa gua ini diberi nama Gua Batu Cermin. Sampai akhirnya tiba di satu titik di mana terdapat lorong buntu, dan di atasnya terdapat celah tempat sebongkah cahaya masuk. Jika momennya tepat, cahaya yang masuk akan terefleksi pada dinding gua dan membentuk cermin alami. Inilah asal-muasal nama Gua Batu Cermin.
“Pantulan sinar matahari di bagian lorong ini bisa menerangi sekitar 60 persen isi gua. Cuma, momen seperti itu memang tidak terjadi setiap hari, tergantung pergerakan bumi dan posisi matahari,” papar Mario, disusul tawarannya kepada para pengunjung untuk berfoto.
Kegiatan berwisata di dalam gua yang menghabiskan waktu sekitar 20-30 menit ini sukses membawa pengunjung mengarungi cerita Pulau Flores masa lalu dan menyaksikan bukti-bukti peninggalan sejarah berharga berbentuk sejumlah fosil hewan dan terumbu karang. Keunikan inilah yang menjadikan objek wisata ini tak pernah sepi pengunjung, baik dari dalam maupun luar negeri.