Medha.id. Rombongan HAM Jakarta Overland de Java yang berkunjung ke Purwokerto, tiba-tiba disambut Begal di Meotel Purwokerto. Tidak tanggung – tanggung, ada dua sosok begal yang menyambut kami setibanya di lobi hotel. Tapi tenang, perawakan begalnya tidak menyeramkan, justru sebaliknya, mereka sangat humoris dengan logat ngapaknya. Salah satunya berpakaian serba hitam atas bawah, dan satunya berpakaian atasan blangkon berbaju hitam dan mengenakan bawahan kain batik.
Baca juga:
Kain Ecoprint Dapat Menjadi Atraksi Pariwisata Kabupaten Banyumas
Begal yang disebutkan sebelumnya adalah seremoni penyambutan rombongan HAM Overland de Java di Hotel Meotel Purwokerto. Suguhan hiburan budaya khas Banyumas, dipersembahkan oleh CEO Dafam Hotel Management (DHM) Andi Irawan dan jajaran karyawan DHM untuk menerima kehadiran peserta HAM di Meotel Hotel Purwokerto.
Begal sendiri adalah tradisi lawas Banyumasan. Dan di masyarakat Banyumas, tradisi ini dikenal dengan Begalan Banyumas. Ternyata punya latar sejarahnya sendiri.
Baca juga:
Menikmati Kopi Arabika Khas Posong di Two Heart
Begalan Banyumas disinyalir oleh budayawan setempat mulai muncul ceritanya sejak peristiwa pembegalan pasangan mempelai Pangeran Tirtokencono dan Dewi Sukesi beserta rombongan. Terjadi pada masa pemerintahan Bupati Banyumas ke XIV Raden Adipati Tjokronegoro (1850).
Pangeran Tirtokencono adalah putra sulung dari Adipati Banyumas Raden Adipati Tjokronegoro, sedangkan Dewi Sukesi adalah putri dari Adipati Wirasaba di Purbalingga. Seminggu setelah pernikahan mereka di kediaman Adipati Wirasaba, ayah Pangeran Tirtokencono menginginkan menggelar upacara pernikahan serupa di kediamannya, alias ngunduh temanten.
Baca juga:
Palawi Risorsis Tawarkan Sensasi Off-Road Kaki Gunung Selamet
Ngunduh temanten sendiri adalah hajatan yang digelar di keluarga laki-laki setelah sebelumnya digelar di keluarga perempuan. Dalam perjalanan dari Purbalingga ke Banyumas, rombongan pengantin dibegal di tengah jalan. Terjadi pertarungan mempertahankan diri dan berakhir kekalahan si begal. Perjalanan tersebut kembali dilanjutkan ke Banyumas.
Kisah pembegalan tersebut menghasilkan seni pertunjukan berbentuk seni tari, seni tutur, dan seni lawak diiringi gending Banyumasan. Dipentaskan pada saat upacara pernikahan anak sulung.
Baca juga:
Posong Menawarkan Keindahan Hamparan 8 Gunung Sekaligus
Pemeran Begalan Banyumas dimainkan dua orang, pengusung peralatan dapur bernama Gunareka dan tokoh begal bernama Rekaguna. Gunareka membawa peralatan dapur seperti ilir (kipas), cething (bakul nasi), kukusan (pengukus makanan), saringan ampas, tampah, sorokan, centhong (sendok nasi), siwur (gayung), irus (sendok sayur) , kendil, dan wangkring (pikulan). Makna masing-masing peralatan dapur tersebut jadi dialog antara Gunareka dan Rekaguna dalam pementasannya.
Begalan Banyumas mirip Palang Pintu di acara pernikahan tradisional Betawi atau Jakarta. Tetapi dialognya lebih chit chat bukan berbalas pantun ala Palang Pintu. Dalam dialog tersebut disisipi pesan-pesan moral untuk pengantin tentang hidup berumah tangga, direpresentasikan dengan peralatan dapur yang dibawa Gunareka. Meotel Hotel Purwokerto dan jajaran Dafam Hotel Management memperkenalkan Begalan Banyumasan sebagai wujud melestarikan seni budaya masyarakat Banyumas.